Sejarah Gerakan Theosofi di Indonesia: Persentuhannya dengan Elit Modern Indonesia
Selasa, 07/02/2012 11:52 WIB
Meski begitu kuat pengaruhnya bagi elit-elit modern Indonesia dan nasionalisme di negeri ini, anehnya Gerakan Theosofi tak pernah dibahas dalam buku-buku sejarah di sekolah. Mengapa?
Oleh: Artawijaya
Penulis buku "Gerakan Theosofi di Indonesia"
Achmad Soebarjo, Abu Hanifah, Haji Agus Salim adalah tokoh-tokoh Islam yang pernah bersentuhan dengan Gerakan Theosofi, meskipun pada akhirnya mereka menjauh dari organisasi kebatinan Yahudi itu. Selain mereka, banyak lagi elit-elit nasional pada masa lalu, yang mengaku beragama Islam, namun terjerembab dalam pemahaman Theosofi, bahkan menjadi aktivis dan propagandis Theosofi. Apalagi, untuk menarik umat Islam masuk dalam Theosofi, mereka mendirikan organisasi sayap bernama Moeslim Bond (Perhimpunan Muslim), meskipun corak mistik-kebatinan sangat kental dalam organisasi ini.
Pada umumnya, banyak elit nasional yang masuk dalam Gerakan Theosofi karena kehausan batin dan mengganggap Theosofi sama seperti tasawuf dalam Islam. Anggapan ini pernah dikemukakan oleh ketiga tokoh di atas, mengenai alasan mereka bergabung ketika itu. Theosofi memang masuk dalam gerak laju nasionalisme yang baru bergeliat, kemudian menciptakan kader-kader nasional yang kemudian berpikiran Theosofistik, seperti menganggap semua kebenaran agama sama, menganggap kebatinan lebih penting dari agama, dan bahkan memisahkan urusan agama dari negara.
Pada masa lalu, jargon-jargon Theosofi soal persaudaraan universal, persatuan hidup dalam kebatinan, persamaan hak, dan lain-lain telah membius banyak elit nasional pada masa itu. Mereka tidak menyadari, bahwa Theosofi memiliki agenda penting dalam menghapus sekat-sekat agama, yang kemudian melahirkan sikap netral agama, lalu berakhir dengan meyakini bahwa semua agama sama. Mereka yang berkeyakinan bahwa semua pada intinya sama, ujungnya akan mengganggap nihil peran agama. Secara tidak sadar keyakinan ini akan melahirkan para atheis yang berkedok pluralis.
Dalam buku "Gerakan Theosofi di Indonesia", penulis mengungkap keberadaan Gerakan Theosofi bukan sekadar pengaruhnya terhadap gerak laju nasionalisme di negeri ini saja, namun juga membongkar ajaran-ajaran Theosofi yang sangat berseberangan dengan akidah Islam, bahkan kerap kali melecehkan Islam. Keyakinan soal Tuhan, agama, alam dan kemanusiaan ala Theosofi bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Tak heran, jika pada masa lalu, organisasi bercorak Islam seperti Sarekat Islam dengan organisasi sekular seperti Boedi Oetomo, sering bersitegang soal keyakinan ini.
Surat Kabar Fadjar Asia tahun 1929 yang dikelola oleh Haji Agus Salim, pernah menyindir keras Theosofi, dengan menulis,“Theosofi sudah terang-terangan mengajarkan agama Hindu, karena memberikan pelajaran Baghavad Gita, Khresna dan Arjuna. Mereka terbukti menganjurkan persaudaraan manusia dengan berpaham Christus. Maka perlu diperiksa betoel azaz keneutralan itoe, soepaya jangan menjadi anti igama, ataoe anti sesoeatoe igama, yang tentoe misalja Islam.” tulisan ini menunjukkan bahaya paham pluralisme agama ala Theosofi.
Dalam keyakinan Theosofi, orang beribadah bukan untuk mendapatkan surga, sebab surga itu bikinan Allah juga. Tetapi manusia beribadat untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu pulang kepada asalnya segala keadaan, yaitu Allah sendiri. (Madjalah Persatoean Hidoep, no. 1, Januari 1941). Keyakinan ini didasarkan pada paham manunggalnya makhluk dengan Tuhan dan keyakinan bahwa manusia sejati yang selalu melaksanakan kebajikan, menebar kasih sayang, pada hakekatnya adalah "Pancaran Ilahi" (God in being). Ia manunggal dalam kebatinan.
Soal ajaran-ajaran Theosofi yang berseberangan dengan keyakinan Islam inilah yang tidak diungkap oleh Iskandar P Nugraha dalam buku "Theosofi, Nasionalisme, dan Elit Modern Indonesia". Iskandar hanya menulis sekilas protes umat Islam tentang ajaran-ajaran Theosofi yang dianggap melecehkan keyakinan kaum Muslimin. Ia juga menulis sedikit tentang resistensi di basis-basis wilayah umat Islam tentang keberadaan Gerakan Theosofi. Mengenai prinsip-prinsip dasar keyakinan Theosofi, ia tidak menulisnya secara detil. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat fokus penulisan bukunya pada Gerakan Theosofi dan hubungannya dengan elit modern Indonesia ketika itu.
Namun demikian, Iskandar P Nugraha menyadari bahwa isu kebangkitan Theosofi sekarang ini dianggap sebagai ancaman bagi keyakinan umat Islam. Iskandar kemudian merujuk buku penulis "Gerakan Theosofi di Indonesia" dan buku Adian Husaini dan Nuim Hidayat berjudul, "Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya."
Dalam kata pengantar cetakan kedua, Iskandar P Nugraha menulis,"Dewasa ini, selain mempertanyakan hubungan Teosofi dengan kelahiran falsafah Pancasila, ide-ide dan tuduhan bahwa Gerakan Teosofi adalah bagian dari konspirasi Yahudi masih bermunculan, bahkan semakin membesar. Selain mengenai ketakutan kebangkitan kembali Teosofi sebagai doktrin Yahudi, tidak jarang Teosofi juga dihubungkan dengan isu-isu aktual termasuk isu neolib. Penggunaan diskursus kunci seperti, misalnya, "kebangkitan yang harus diwaspadai" selalu muncul sebagai benang merah serangan terhadap gerakan Teosofi."
Penerbit Komunitas Bambu yang dimotori oleh sejarawan muda UI, JJ. Rizal dalam kata pengantarnya juga menulis adanya upaya mengaitkan Gerakan Theosofi dengan kelompok yang selama ini dianggap menghina Islam. Penerbit itu menulis, "Diskusi menyangkut Gerakan Teosofi menarik. Di satu sisi, Gerakan Teosofi dianggap sebagai gerakan yang memberi pengaruh positif dalam pergerakan nasional sebagaimana dikatakan Akira Nagazumi dan John D. Legge. Tetapi pada sisi lain, Gerakan Teosofi dinilai sebagai gerakan yang memberi muatan negatif dalam sejarah pergerakan nasional, seperti disebut menghina Islam. Banyak korbannya, salah satunya Moh. Sjafei, pendiri INS Kayu Tanam, pernah dicap demikian. Bahkan Gerakan Pembaruan Islam dari Murcholish Majid pun dicap terpengaruh dan digerakkan oleh Gerakan Teosofi… "
Alhasil, tulisan bersambung mengenai Gerakan Theosofi ini adalah upaya membuka selubung sejarah tentang sepak terjang kelompok kebatinan Yahudi, yang sudah mengakar sejak ratusan tahun lalu di Nusantara, berjalin berkelindan dengan elit-elit modern dan nasionalisme negeri ini, serta mempunyai sepak terjang dalam memarginalkan aspirasi Islam, bahkan mencederai akidah Islam. Ironisnya, meski sangat kuat pengaruhnya pada nasionalisme dan elit nasional pada masa lalu, Gerakan Theosofi sangat minim, bahkan tak ada sama sekali dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah kita.
David Reeve, sejarawan yang pernah meneliti kaitan Gerakan Theosofi dengan Partai Golkar pernah menyatakan, "Dalam lingkaran orang nasionalis yang sekular, begitu banyak yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi..." Namun sekali lagi, fakta mengenai ini seolah tersamar kabut kekuasaan.
Meski begitu kuat pengaruhnya bagi elit-elit modern Indonesia dan nasionalisme di negeri ini, anehnya Gerakan Theosofi tak pernah dibahas dalam buku-buku sejarah di sekolah. Mengapa?
Oleh: Artawijaya
Penulis buku "Gerakan Theosofi di Indonesia"
Achmad Soebarjo, Abu Hanifah, Haji Agus Salim adalah tokoh-tokoh Islam yang pernah bersentuhan dengan Gerakan Theosofi, meskipun pada akhirnya mereka menjauh dari organisasi kebatinan Yahudi itu. Selain mereka, banyak lagi elit-elit nasional pada masa lalu, yang mengaku beragama Islam, namun terjerembab dalam pemahaman Theosofi, bahkan menjadi aktivis dan propagandis Theosofi. Apalagi, untuk menarik umat Islam masuk dalam Theosofi, mereka mendirikan organisasi sayap bernama Moeslim Bond (Perhimpunan Muslim), meskipun corak mistik-kebatinan sangat kental dalam organisasi ini.
Pada umumnya, banyak elit nasional yang masuk dalam Gerakan Theosofi karena kehausan batin dan mengganggap Theosofi sama seperti tasawuf dalam Islam. Anggapan ini pernah dikemukakan oleh ketiga tokoh di atas, mengenai alasan mereka bergabung ketika itu. Theosofi memang masuk dalam gerak laju nasionalisme yang baru bergeliat, kemudian menciptakan kader-kader nasional yang kemudian berpikiran Theosofistik, seperti menganggap semua kebenaran agama sama, menganggap kebatinan lebih penting dari agama, dan bahkan memisahkan urusan agama dari negara.
Pada masa lalu, jargon-jargon Theosofi soal persaudaraan universal, persatuan hidup dalam kebatinan, persamaan hak, dan lain-lain telah membius banyak elit nasional pada masa itu. Mereka tidak menyadari, bahwa Theosofi memiliki agenda penting dalam menghapus sekat-sekat agama, yang kemudian melahirkan sikap netral agama, lalu berakhir dengan meyakini bahwa semua agama sama. Mereka yang berkeyakinan bahwa semua pada intinya sama, ujungnya akan mengganggap nihil peran agama. Secara tidak sadar keyakinan ini akan melahirkan para atheis yang berkedok pluralis.
Dalam buku "Gerakan Theosofi di Indonesia", penulis mengungkap keberadaan Gerakan Theosofi bukan sekadar pengaruhnya terhadap gerak laju nasionalisme di negeri ini saja, namun juga membongkar ajaran-ajaran Theosofi yang sangat berseberangan dengan akidah Islam, bahkan kerap kali melecehkan Islam. Keyakinan soal Tuhan, agama, alam dan kemanusiaan ala Theosofi bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Tak heran, jika pada masa lalu, organisasi bercorak Islam seperti Sarekat Islam dengan organisasi sekular seperti Boedi Oetomo, sering bersitegang soal keyakinan ini.
Surat Kabar Fadjar Asia tahun 1929 yang dikelola oleh Haji Agus Salim, pernah menyindir keras Theosofi, dengan menulis,“Theosofi sudah terang-terangan mengajarkan agama Hindu, karena memberikan pelajaran Baghavad Gita, Khresna dan Arjuna. Mereka terbukti menganjurkan persaudaraan manusia dengan berpaham Christus. Maka perlu diperiksa betoel azaz keneutralan itoe, soepaya jangan menjadi anti igama, ataoe anti sesoeatoe igama, yang tentoe misalja Islam.” tulisan ini menunjukkan bahaya paham pluralisme agama ala Theosofi.
Dalam keyakinan Theosofi, orang beribadah bukan untuk mendapatkan surga, sebab surga itu bikinan Allah juga. Tetapi manusia beribadat untuk tujuan yang lebih tinggi, yaitu pulang kepada asalnya segala keadaan, yaitu Allah sendiri. (Madjalah Persatoean Hidoep, no. 1, Januari 1941). Keyakinan ini didasarkan pada paham manunggalnya makhluk dengan Tuhan dan keyakinan bahwa manusia sejati yang selalu melaksanakan kebajikan, menebar kasih sayang, pada hakekatnya adalah "Pancaran Ilahi" (God in being). Ia manunggal dalam kebatinan.
Soal ajaran-ajaran Theosofi yang berseberangan dengan keyakinan Islam inilah yang tidak diungkap oleh Iskandar P Nugraha dalam buku "Theosofi, Nasionalisme, dan Elit Modern Indonesia". Iskandar hanya menulis sekilas protes umat Islam tentang ajaran-ajaran Theosofi yang dianggap melecehkan keyakinan kaum Muslimin. Ia juga menulis sedikit tentang resistensi di basis-basis wilayah umat Islam tentang keberadaan Gerakan Theosofi. Mengenai prinsip-prinsip dasar keyakinan Theosofi, ia tidak menulisnya secara detil. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat fokus penulisan bukunya pada Gerakan Theosofi dan hubungannya dengan elit modern Indonesia ketika itu.
Namun demikian, Iskandar P Nugraha menyadari bahwa isu kebangkitan Theosofi sekarang ini dianggap sebagai ancaman bagi keyakinan umat Islam. Iskandar kemudian merujuk buku penulis "Gerakan Theosofi di Indonesia" dan buku Adian Husaini dan Nuim Hidayat berjudul, "Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya."
Dalam kata pengantar cetakan kedua, Iskandar P Nugraha menulis,"Dewasa ini, selain mempertanyakan hubungan Teosofi dengan kelahiran falsafah Pancasila, ide-ide dan tuduhan bahwa Gerakan Teosofi adalah bagian dari konspirasi Yahudi masih bermunculan, bahkan semakin membesar. Selain mengenai ketakutan kebangkitan kembali Teosofi sebagai doktrin Yahudi, tidak jarang Teosofi juga dihubungkan dengan isu-isu aktual termasuk isu neolib. Penggunaan diskursus kunci seperti, misalnya, "kebangkitan yang harus diwaspadai" selalu muncul sebagai benang merah serangan terhadap gerakan Teosofi."
Penerbit Komunitas Bambu yang dimotori oleh sejarawan muda UI, JJ. Rizal dalam kata pengantarnya juga menulis adanya upaya mengaitkan Gerakan Theosofi dengan kelompok yang selama ini dianggap menghina Islam. Penerbit itu menulis, "Diskusi menyangkut Gerakan Teosofi menarik. Di satu sisi, Gerakan Teosofi dianggap sebagai gerakan yang memberi pengaruh positif dalam pergerakan nasional sebagaimana dikatakan Akira Nagazumi dan John D. Legge. Tetapi pada sisi lain, Gerakan Teosofi dinilai sebagai gerakan yang memberi muatan negatif dalam sejarah pergerakan nasional, seperti disebut menghina Islam. Banyak korbannya, salah satunya Moh. Sjafei, pendiri INS Kayu Tanam, pernah dicap demikian. Bahkan Gerakan Pembaruan Islam dari Murcholish Majid pun dicap terpengaruh dan digerakkan oleh Gerakan Teosofi… "
Alhasil, tulisan bersambung mengenai Gerakan Theosofi ini adalah upaya membuka selubung sejarah tentang sepak terjang kelompok kebatinan Yahudi, yang sudah mengakar sejak ratusan tahun lalu di Nusantara, berjalin berkelindan dengan elit-elit modern dan nasionalisme negeri ini, serta mempunyai sepak terjang dalam memarginalkan aspirasi Islam, bahkan mencederai akidah Islam. Ironisnya, meski sangat kuat pengaruhnya pada nasionalisme dan elit nasional pada masa lalu, Gerakan Theosofi sangat minim, bahkan tak ada sama sekali dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah kita.
David Reeve, sejarawan yang pernah meneliti kaitan Gerakan Theosofi dengan Partai Golkar pernah menyatakan, "Dalam lingkaran orang nasionalis yang sekular, begitu banyak yang memiliki hubungan dengan Gerakan Theosofi..." Namun sekali lagi, fakta mengenai ini seolah tersamar kabut kekuasaan.
Posting Komentar untuk "Sejarah Gerakan Theosofi di Indonesia: Persentuhannya dengan Elit Modern Indonesia"
Komentar akan ditampilkan di halaman ini, diharapkan sopan dan bertanggung jawab.
Kami berhak menghapus komentar yang tidak layak ditampilkan. Terima Kasih.